Minggu, 10 Januari 2010

Aku, Kehidupan Nomaden, dan Rumahku Sekarang

Sebenarnya ini adalah karangan tugas kuliah dari dosen tentang sistem sosial budaya, tapi karena aku yang bikin jadi lebih mirip curhat colongannya mahasiswa.. hehe..
cekidot!

Bisa dibilang keluarga saya adalah keluarga “kontraktor”, maksudnya kami sudah melakukan pengembaraan atau lebih tepatnya berpindah-pindah (nomaden) dari rumah kontrakan satu ke kontrakan yang lainnya, kalau dihitung kami sudah tujuh kali pindah rumah, termasuk dua rumah yang sama, serta dua kali pindah rumah di lokasi yang sama.

Rumah saya yang pertama ada di tanah kelahiran saya di Takengon, Aceh Tengah. Ibu dan keluarganya berasal dari Aceh, tapi Ayah saya asli Yogyakarta, mereka bertemu ketika Ibu kuliah di Yogyakarta dan tinggal di asrama Aceh Cut Nyak Dien di Sagan. Saat saya baru berumur tujuh bulan orangtua saya memutuskan untuk kembali di Yogya, dan menetap disana. Kemudian kami sekeluarga pindah di Yogyakarta, dan tinggal di rumah eyang di Terban, tepatnya sebelah utara kantor Kelurahan Terban, persis depan kantor radio komunitas Panagati yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Dengan nomor rumah GK 5/271 Yogyakarta.

Setelah adik laki-laki saya lahir dan saat itu saya masih berumur dua tahun kami pindah lagi ke Jlagran, tidak lama kami menetap disana, lingkungan disana tidak sehat baik dilihat dari kacamata biologis maupun kacamata psikologis, karena Jlagran berada ditengah pemukiman yang padat dan banyaknya pemuda dan bapak-bapak preman yang lebih suka mabuk daripada bekerja. Dengan alasan seperti itu maka orang tua saya memutuskan kembali lagi ke rumah Simbah di Terban.

Cukup lama kami tinggal di rumah Simbah sampai pada saat saya kelas 3 SD. Bisa dibilang saya betah di Terban, alasannya karena rumah Simbah mempunyai pekarangan yang luas serta mempunyai dua pohon jambu air yang besar-besar dan selalu berbuah lebat, walaupun warna buah jambunya kurang menarik karena cenderung hitam, namun rasanya manis. Selain alasan buah-buahan tadi, saya sudah mempunyai teman dekat yang tinggal disamping rumah, kapan pun kami bermain bersama, mulai dari berangkat mengaji bersama dan pulang sekolah pun sama-sama. Alasan lain saya betah juga tinggal dirumah Simbah adalah karena keluarga di rumah Simbah sangat ramai dan hangat, ramai dan karena Simbah mempunyai sembilan anak. Tidak ada kata sepi dirumah, bahkan saat maghrib tiba kami sekeluarga melaksanakan sholat maghrib berjama’ah di ruang tamu. Alasan lain mengapa suasana ramai adalah karena adik-adik ayah saya yang banyak dan ayah saya adalah anak pertama, yang akhirnya membawa saya pada takdir, yaitu menjadi cucu pertama dari sekian belas cucu-cucunya yang sekarang.

Selama tiga tahun keluarga kami tinggal di Terban sampai akhirnya pada saat saya kelas 3 SD, kami sekeluarga pindah ke rumah kontrakan di Jalan Kaliurang km 13, Besi, tepatnya di Perumahan Sukoharjo Indah. Saya sangat menyukai tinggal di perumahan hingga tak terasa sudah enam tahun kami sekeluarga menetap disana, sampai dua kali pindah rumah tapi beda blok. Walau perumahan namun warganya tidak hidup secara indivualis. Banyak kegiatan yang hadir disana, seperti acara kesenian peringatan 17 Agustus, Sumpah Pemuda, Hari Ibu, Halal Bil Halal saat Idul Fitri, arisan, dan yang paling menarik adalah kegiatan pemuda-pemudi yang sangat kreatif dalam menggelar suatu acara perumahan, tidak hanya 17 Agustus saja, namun kegiatan nonton bareng sering diadakan disana. Karena waktu kontrakan telah habis, akhirnya kami pindah lagi di Bumijo. Rumah di Bumijo adalah rumah kontakan kami yang terakhir, karena setelah itu kami pindah ke rumah baru di Jamusan. Walaupun kami pindah di dusun Jamusan, namun keluarga kami menggunakan KTP yang beralamatkan di Terban.

Sekarang keluarga kami bukan “kontraktor” lagi, kami telah mempunyai rumah yang awalnya adalah sebuah areal sawah seluas 1770 m2 yang kemudian dibagi menjadi 14 kavling hingga tiap kavling mempunyai tanah hanya seluas kira-kira 126 m2. Tanah seluas itu cukup untuk membuat rumah minimalis yang dihuni oleh satu keluarga dengan empat orang jiwa didalamnya. Dari 14 kavling yang ada baru enam rumah yang dibangun, termasuk rumah saya.

Rumah saya berlokasi di Dusun Jamusan, Kelurahan Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Kira-kira 12 kilometer dari arah Yogyakarta melewati Jalan Raya Yogya-Solo. Untuk mencapai dusun saya dibutuhkan kira-kira 30 menit dari arah Yogyakarta dengan menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi, serta 45 menit menggunakan angkutan umum. Fasilitas umum disana bisa dibilang baik karena dekat dekat dengan Rumah Sakit Umum Panti Rini, Polsek Prambanan, stasiun kereta api Kalasan, terminal Prambanan, 15 menit ke bandara Internasional Adisucipto, dan lokasi wisata Candi Prambanan dan Candi Boko. Dusun Jamusan juga dilengkapi dengan fasilitas umum seperti sebuah masjid dan sebuah sekolah dasar negeri.

Bagian utara dusun saya berbatasan dengan jalan raya alternatif Jogja-Piyungan. Sedangkan bagian barat berbatasan dengan desa Bokoharjo, desa Bokoharjo adalah desa wisata yang berada di wilayah perbukitan, perbukitan Bokoharjo adalah salah satu objek wisata terkenal yaitu Candi Bokoharjo, candi ini terletak diatas bukit dan sangat luas. Candi ini konon katanya adalah tempat tinggal Ratu Boko yaitu Ratu Roro Jonggrang. Pemandangan dari atas candi ini sangat menajubkan apalagi jika pagi hari dan sore hari. Pada hari minggu pagi biasanya warga sekitar akan berolahraga pagi di candi ini, masuk ke pelataran candi secara gratis ditambah melihat matahari terbit dari peraduannya. Pada sore hari, pengunjung disuguhi keindahan matahari terbenam, namun jika masuk pada sore hari, pengunjung akan diminta tiket masuk. Selain keindahan melihat matahari terbit dan terbenam, dari atas pelataran Candi Boko pengunjung juga disuguhi oleh pemandangan kota Yogyakarta, gunung Merapi, dan Candi Prambanan yang menakjubkan.
Perbatasan lain dusun Jamusan bagian selatan adalah sungai Opak. Sungai ini tidak hanya membatasi bagian selatan dusun Jamusan, namun membatasi bagian timur dusun Jamusan. Di Jamusan terdapat bendungan sungai Opak yang besar, walaupun berbahaya biasanya tempat ini digunakan masyarakat untuk memancing.

Akses menuju dusun saya dimulai dari jalan alternatif Jogja-Piyungan harus menggunakan kendaraan pribadi, karena tidak ada kendaraan umum yang lewat. Kendaraan umum lewat hanya di jalan raya Jogja-Solo saja, yaitu bis Trans Jogja, colt Prambanan, dan bis antar kota-antar propinsi. Bagi yang terpaksa tidak mempunyai kendaraan pribadi seperti sepeda motor maupun mobil, akses menuju ke dusun harus menggunakan sepeda angin atau sepeda onthel. Jalan masuk ke dusun waktu pertama kali saya pindah kemari, tiga tahun yang lalu masih jalan aspal kasar dan sebagian lagi jalan tanah. Namun, beberapa bulan terakhir ini sudah tidak ada lagi jalan tanah karena berganti dengan jalan yang dicor semen. Hal ini mengantisipasi roda kendaraan yang slip ketika musim hujan.

Rumah saya masih termasuk dusun Jamusan namun bagian yang paling luar dari kampung, karena jarak antara rumah saya dengan perkampungan kira-kira 500 meter. Warga asli dusun Jamusan memanggil kavling rumah saya adalah perumahan, padahal kami adalah salah satu bagian dari perkampungan Jamusan.

Sepanjang perjalanan ke dusun Jamusan akan disuguhi bentangan sawah luas nan hijau di sisi kanan dan kiri jalan. Bahkan, pemandangan didepan rumah saya, sepanjang mata memandang terbentang areal persawahan hijau. Hawa sejuk menyergap di pagi hari dan sore hari.. Namun, di waktu siang hari hawa panas sangat menyengat, karena tidak adanya pohon-pohon besar yang ditanam disini. Angin disini sangat kencang, apalagi saat hujan tiba. Setiap ada pohon besar yang tumbuh di dekat areal persawahan, bisa dipastikan akan ditebang oleh pemilik sawah, karena akan menghalangi cahaya matahari yang dibutuhkan oleh padi agar tumbuh subur.

Mengantisipasi hawa panas disiang hari dan mengurangi kecepatan angin yang menimpa rumah saya, kami banyak-banyak menanam tanaman dan pepohonan di pekarangan rumah, seperti pohon jambu mawar dan jambu biji, pohon pepaya, pohon sirsak, pohon pisang yang telah berbuah dan dapat kami nikmati sendiri hasilnya. Selain itu ada juga beberapa tanaman hias yang banyak kami tanam di pot-pot kecil yang akhirnya bisa tumbuh besar. Bertanam disini bisa dipastikan akan tumbuh besar dan subur, mengingat bahwa tanah yang dipakai adalah tanah persawahan yang banyak mengandung humus. Bahkan disini tidak akan kesulitan mencari pupuk untuk bertanam. Karena di utara dan selatan rumah saya terdapat kandang sapi.

Sapi-sapi dipelihara di sebuah bangunan yang memanjang terbuat dari kayu dan dibuat bersekat-sekat. Sapi-sapi itu dipelihara dan dijaga bergantian oleh warga sekitar yang tergabung dalam suatu perkumpulan UD (Unit Desa). Hampir tiap keluarga di dusun Jamusan mempunyai hewan ternak, entah sapi, kerbau ataupun kambing. Bedanya, hewan ternak seperti kambing dipelihara di rumah-rumah penduduk, biasanya diletakkan di belakang rumah dengan bangunan sederhana yang terbuat dari gedeg atau anyaman bambu.

Kondisi geografis lingkungan dusun saya adalah areal persawahan produktif. Sawah disini ditanami oleh padi, ketika musim panen beras-beras akan ditampung oleh Ibu Mino, dan beliau nanti yang akan mengurusnya dan mendistribusikannya kepada tengkulak di beberapa wilayah Yogyakarta. Selain sawah yang ditanami oleh padi, ada juga sawah yang sengaja dikeringkan untuk menjadi areal perkebunan sayur dan buah-buahan. Sayuran yang ditanam antara lain cabai, kacang panjang, kacang, dan ada beberapa buah-buahan seperti melon, semangka, dan buah markisa yang lokasinya tepat dibelakang rumah saya. Tanah perkebunan markisa itu disewa oleh pengusaha sirup markisa dan hasil panennya digunakan untuk membuat sirup dan didistribusikan ke wilayah-wilayah Yogyakarta dan kota-kota sekitarnya.

Mayoritas mata pencaharian warga dusun Jamusan adalah bertani. Setiap pagi hari setelah subuh para petani secara bersama-sama segera berangkat ke sawah dengan peralatan dan atributnya seperti caping, cangkul, celurit, dan beberapa karung bagor. Untuk mengurus sawahnya, seperti mencabuti rumput dan gulma, menyebarkan insektisida, memberi pupuk kandang dan NPK, dan lain sebagainya. Rumput yang telah dibersihkan dikumpulkan dan dimasukkan ke karung bagor untuk makan ternak mereka. Kegiatan terhenti setelah pukul 11 pagi menjelang siang karena saat itu adalah saat untuk istirahat dan matahari sudah hampir tepat diatas kepala. Kegiatan dimulai lagi pada pukul 4 sore hingga adzan maghrib berkumandang.

Kegiatan ini bisa saja berhenti sebelum waktunya jika tiba-tiba hujan deras turun. Secara tergesa-gesa para petani yang sedang bekerja di sawah lari terbirit-birit untuk segera berteduh dari keroyokan hujan dan petir yang menyambar. Musim hujan adalah saat yang sangat dinantikan petani karena air akan melimpah dan sistem irigasi lancar. Namun, bisa jadi hal yang merugikan petani jika hujan turun disertai dengan angin kencang. Karena setelah itu tanaman padi yang telah ditanam akan ambruk diterjang angin kencang. Kalau tanaman padi ambruk maka dipastikan tanaman padi tidak akan tumbuh subur lagi bahkan akan mati. Tentu hal itu sangat merugikan petani saat musim panen tiba, hasil panen sedikit dan hasil panen kurang memuaskan.

Musim hujan yang dinantikan petani padi beda dengan petani cabai, saat cabai mulai berbuah lalu tiba-tiba terjadi hujan maka dipastikan cabai-cabai itu besoknya akan busuk dan tidak sehat perkembangannya, sehingga petani akan mendapatkan hasil panen yang mengecewakan dengan cabai yang kecil-kecil dan hampir busuk, dengan begitu harga cabai akan turun dan tentu saja petani akan merugi..

Dusun Jamusan dibagi menjadi lima Rukun Tetangga (RT). RT 01 diketuai oleh Pak Badi, RT 02 diketuai oleh Pak Teram, RT 03 diketuai oleh Pak Yadi, RT 04 diketuai oleh Pak Eko, dan RT 05 diketuai oleh Pak Karin. Perumahan tempat tinggal saya masuk di RT 04. Sebuah dusun dipimpin oleh Bapak Dukuh, Bapak Dukuh Jamusan bernama Pak Ariyanto.

Menurut narasumber yang saya temui yaitu Pak Eko seorang Ketua RT 04 bahwa awalnya pada zaman Belanda, dusun Jamusan ini hanyalah sebuah areal persawahan yang produktif, namun dibabat alas oleh seorang lelaki yang bernama Pak Jamus, namun hingga sekarang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Jamus. Dalam waktu yang cukup lama areal persawahan ini dikeringkan dan dibangun beberapa rumah untuk warga. Awalnya dusun ini hanya dihuni oleh 12 kepala keluarga, namun sekarang sudah bertambah hingga 175 kepala keluarga.

Ketika ada konflik antara kaum pribumi dengan penjajah Belanda, dan penjajah sedang gencar-gencarnya mencari kaum pribumi untuk kerja paksa atau kerja rodi, tentara Belanda mencari kaum pribumi sampai ke pelosok-pelosok desa. Konon katanya Mbah Jamus adalah orang sakti mandraguna. Dengan mudahnya Mbah Jamus “membutakan” mata tentara-tentara Belanda hingga tidak bisa melihat bahwa disitu ada sebuah perkampungan. Tentara-tentara Belanda itu hanya bergerak berputar-putar diluar kampung dan selalu kembali dititik yang sama. Sehingga warga dusun bisa selamat dan tidak menjadi korban kekejaman tentara Belanda.

Bahkan zaman dulu ketika Mbah Jamus masih hidup dipastikan tempat tinggal mereka aman dari bahaya pencurian dan perampokan, karena pencurinya akan bernasib sama dengan tentara Belanda tadi. Malangnya para pencuri tidak bisa keluar dari kampung, karena selalu terdesak oleh jalan buntu yaitu sungai besar yang mengitari kampung. Berkat jasa Mbah Jamus tadi nama perkampungan itu dinamakan sama dengan Mbah Jamus, yaitu Jamusan. Makam Mbah Jamus masih ada sampai sekarang di pemakaman umum dusun Jamusan yang terletak di timur, bagian paling luar perkampungan.

Sayangnya, keamanan kampung layaknya masa Mbah Jamus tidak lagi tercipta di masa sekarang, buktinya adalah banyaknya kasus pencurian yang terjadi di Jamusan. Pencuri disini biasanya mencuri alat elektronik, tanaman dan hewan ternak. Kasus yang sering saya alami adalah pencurian tanaman hias dibeberapa rumah. Sudah beberapa pot tanaman hias yang ibu saya tanam hilang entah kemana, begitu juga tetangga saya. Pencurinya hanya menyisakan pot beserta tanahnya saja, sedangkan tanamannya hilang. Ketika sedang heboh-hebohnya tanaman Gelombang Cinta, saya segera membeli bibitnya di pameran tanaman dengan harga yang tidak murah, dengan telaten saya rawat tanaman itu hingga tumbuh sedikit demi sedikit. Biasanya tanaman itu saya taruh didalam rumah karena takut hilang, namun entah mengapa saat sedang dijemur di teras rumah lupa dimasukkan kedalam rumah. Hingga keesokan harinya Gelombang Cinta saya raib dicuri orang!

Puncak tindakan kriminal hingga saya berani berkata bahwa Jamusan, daerah tempat tinggal saya adalah daerah rawan dan tidak aman ketika rumah saya dan seluruh kavling perumahan disatroni maling. Setiap rumah deretan saya di kavling perumahan jendelanya dicongkel menggunakan linggis. Padahal saat kejadian kami sekeluarga ada dirumah sedang tidur. Saat jam menunjukkan pukul satu dini hari, saya dan adik masih terjaga. Kejadian mungkin terjadi diatas jam satu dini hari, yang membuat kami heran adalah kami tidak mendengar suara apapun, serasa kami disirep. Padahal kami memelihara angsa, angsa mempunyai insting yang kuat, dia bisa merasakan keberadaan orang asing disekitar rumah dan akan bersuara. Namun, kenyataannya saat kejadian itu angsa peliharan kami tidak bersuara sama sekali. Alhasil maling berhasil membongkar jendela dari ruang tamu yang tak berteralis dengan menggunakan linggis dan berhasil membawa sebuah handphone dan dompet. Untungnya handphone yang dibawa adalah handphone rusak dan dompet yang hanya berisi uang recehan. Walaupun begitu kami bersyukur tidak terbangun saat maling itu sedang beraksi, kami tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau kami memergoki maling itu, nanti malah kami yang jadi korban amukannya. Hingga sekarang kami belum tahu siapa pelaku pencurian itu.

Semoga saja tidak ada lagi pencurian dilingkunganku...

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. wah,... itu kampung halaman saya. dah 2tahun gak mudik jadi kangen. biasanya kalo sore, saya suka duduk2 di gubug pojok desa depan masjid. rumah saya sebelah barat desa dekat makam.
    jadi kangen,...
    makasih ya dah sharing
    keep posting

    BalasHapus